Sejarah Corak & Pendukung Tari Indonesia
Tari bercorak prasejarah atau tari suku pedalaman
Sebelum bersentuhan dengan pengaruh asing, suku bangsa di kepulauan
Indonesia sudah mengembangkan seni tarinya tersendiri, hal ini tampak
pada berbagai suku bangsa yang bertahan dari pengaruh luar dan memilih
hidup sederhana di pedalaman, misalnya di Sumatera (Suku Batak, Nias, Mentawai), di Kalimantan (Suku Dayak, Punan, Iban), di Jawa (Suku Baduy), di Sulawesi (Suku Toraja, Suku Minahasa), di Kepulauan Maluku dan di Papua (Dani, Asmat, Amungme).
Banyak ahli antropologi percaya bahwa tarian di Indonesia berawal dari gerakan ritual dan upacara keagamaan.Tarian semacam ini biasanya berawal dari ritual, seperti tari perang, tarian dukun
untuk menyembuhkan atau mengusir penyakit, tarian untuk memanggil
hujan, dan berbagai jenis tarian yang berkaitan dengan pertanian seperti
tari Hudoq dalam suku Dayak. Tarian lain diilhami oleh alam, misalnya Tari Merak dari Jawa Barat. Tarian jenis purba ini biasanya menampilkan gerakan berulang-ulang seperti tari Tor-Tor dalam suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara.
Tarian ini juga bermaksud untuk membangkitkan roh atau jiwa yang
tersembunyi dalam diri manusia, juga dimaksudkan untuk menenangkan dan
menyenangkan roh-roh tersebut. Beberapa tarian melibatkan kondisi mental
seperti kesurupan yang dianggap sebagai penyaluran roh ke dalam tubuh penari yang menari dan bergerak di luar kesadarannya. Tari Sanghyang Dedari adalah suci tarian istimewa di Bali,
dimana gadis yang belum beranjak dewasa menari dalam kondisi mental
tidak sadar yang dipercaya dirasuki roh suci. Tarian ini bermaksud
mengusir roh-roh jahat dari sekitar desa. Tari Kuda Lumping dan tari keris juga melibatkan kondisi kesurupan.
Tari bercorak Hindu-Buddha
Dengan diterimanya agama dharma di Indonesia, Hinduisme dan Buddhisme
dirayakan dalam berbagai ritual suci dan seni. Kisah epik Hindu seperti
Ramayana, Mahabharata dan juga Panji
menjadi ilham untuk ditampilkan dalam tari-drama yang disebut
"Sendratari" menyerupai "ballet" dalam tradisi barat. Suatu metode tari
yang rumit dan sangat bergaya diciptakan dan tetap lestari hingga kini,
terutama di pulau Jawa dan Bali. Sendratari Jawa Ramayana dipentaskan
secara rutin di Candi Prambanan, Yogyakarta; sementara sendratari yang bertema sama dalam versi Bali dipentaskan di berbagai Pura di seluruh pulau Bali. Tarian Jawa Wayang orang
mengambil cuplikan dari episode Ramayana atau Mahabharata. Akan tetapi
tarian ini sangat berbeda dengan versi India. Meskipun sikap tubuh dan
tangan tetap dianggap penting, tarian Indonesia tidak menaruh perhatian
penting terhadap mudra
sebagaimana tarian India: bahkan lebih menampilkan bentuk lokal. Tari
keraton Jawa menekankan kepada keanggunan dan gerakannya yang lambat dan
lemah gemulai, sementara tarian Bali lebih dinamis dan ekspresif. Tari
ritual suci Jawa Bedhaya dipercaya berasal dari masa Majapahit
pada abad ke-14 bahkan lebih awal, tari ini berasal dari tari ritual
yang dilakukan oleh gadis perawan untuk memuja Dewa-dewa Hindu seperti Shiwa, Brahma, dan Wishnu.
Di Bali, tarian telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual suci Hindu Dharma. Beberapa ahli percaya bahwa tari Bali berasal dari tradisi tari yang lebih tua dari Jawa. Relief dari candi
di Jawa Timur dari abad ke-14 menampilkan mahkota dan hiasan kepala
yang serupa dengan hiasan kepala yang digunakan di tari Bali kini. Hal
ini menampilkan kesinambungan tradisi yang luar biasa yang tak terputus
selama sedikitnya 600 tahun. Beberapa tari sakral dan suci hanya boleh
dipergelarkan pada upacara keagamaan tertentu. Masing-masing tari Bali
memiliki kegunaan tersendiri, mulai dari tari suci untuk ritual
keagamaan yang hanya boleh ditarikan di dalam pura, tari yang
menceritakan kisah dan legenda populer, hingga tari penyambutan dan
penghormatan kepada tamu seperti tari pendet. Tari topeng juga sangat populer di Jawa dan Bali, umumnya mengambil kisah cerita Panji yang dapat dirunut berasal dari sejarah Kerajaan Kediri abad ke-12. Jenis tari topeng yang terkenal adalah tari topeng Cirebon dan topeng Bali.
Tari bercorak Islam
Sebagai agama yang datang kemudiam, Agama Islam
mulai masuk ke kepulauan Nusantara ketika tarian asli dan tarian dharma
masih populer. Seniman dan penari masih menggunakan gaya dari era
sebelumnya, menganti kisah cerita yang lebih berpenafsiran Islam dan
busana yang lebih tertutup sesuai ajaran Islam. Pergantian ini sangat
jelas dalam Tari Persembahan dari Jambi. Penari masih dihiasi perhiasan
emas yang rumit dan raya seperti pada masa Hindu-Buddha, tetapi
pakaiannya lebih tertutup sesuai etika kesopanan berbusana dalam ajaran
Islam.
Era baru ini membawa gaya baru dalam seni tari: Tari Zapin Melayu dan Tari Saman Aceh menerapkan gaya tari dan musik bernuansa Arabia dan Persia,
digabungkan dengan gaya lokal menampilkan generasi baru tarian era
Islam. Digunakan pula alat musik khas Arab dan Persia, seperti rebana,
tambur, dan gendang yang menjadi alat musik utama dalam tarian bernuansa
Islam, begitu pula senandung nyanyian pengiring tarian yang mengutip
doa-doa Islami.
Pendukung
Tari keraton
Tarian di Indonesia mencerminkan sejarah panjang Indonesia. Beberapa
keluarga bangsawan; berbagai istana dan keraton yang hingga kini masih
bertahan di berbagai bagian Indonesia menjadi benteng pelindung dan
pelestari budaya istana. Perbedaan paling jelas antara tarian istana
dengan tarian rakyat tampak dalam tradisi tari Jawa. Strata masyarakat
Jawa yang berlapis-lapis dan bertingkat tercermin dalam budayanya. Jika
golongan bangsawan kelas atas lebih memperhatikan pada kehalusan, unsur
spiritual, keluhuran, dan keadiluhungan; masyarakat kebanyakan lebih
memperhatikan unsur hiburan dan sosial dari tarian. Sebagai akibatnya
tarian istana lebih ketat dan memiliki seperangkat aturan dan disiplin
yang dipertahankan dari generasi ke generasi, sementara tari rakyat
lebih bebas, dan terbuka atas berbagai pengaruh.
Perlindungan kerajaan atas seni dan budaya istana umumnya digalakkan
oleh pranata kerajaan sebagai penjaga dan pelindung tradisi mereka.
Misalnya para Sultan dan Sunan dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta terkenal sebagai pencipta berbagai tarian keraton lengkap dengan komposisi gamelan
pengiring tarian tersebut. Tarian istana juga terdapat dalam tradisi
istana Bali dan Melayu, yang bisanya—seperti di Jawa—juga menekankan
pada kehalusan, keagungan dan gengsi. Tarian Istana Sumatra seperti
bekas Kesultanan Aceh, Kesultanan Deli
di Sumatera Utara, Kesultanan Melayu Riau, dan Kesultanan Palembang di
Sumatera Selatan lebih dipengaruhi budaya Islam, sementara Jawa dan Bali
lebih kental akan warisan budaya Hindu-Buddhanya.
Tari rakyat
Tarian Indonesia menunjukkan kompleksitas sosial dan pelapisan
tingkatan sosial dari masyarakatnya, yang juga menunjukkan kelas sosial
dan derajat kehalusannya. Berdasarkan pelindung dan pendukungya, tari
rakyat adalah tari yang dikembangkan dan didukung oleh rakyat
kebanyakan, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Dibandingkan dengan
tari istana (keraton) yang dikembangkan dan dilindungi oleh pihak
istana, tari rakyat Indonesia lebih dinamis, enerjik, dan relatif lebih
bebas dari aturan yang ketat dan disiplin tertentu, meskipun demikian
beberapa langgam gerakan atau sikap tubuh yang khas seringkali tetap
dipertahankan. Tari rakyat lebih memperhatikan fungsi hiburan dan sosial
pergaulannya daripada fungsi ritual.
Tari Ronggeng dan tari Jaipongan suku Sunda
adalah contoh yang baik mengenai tradisi tari rakyat. Keduanya adalah
tari pergaulan yang lebih bersifat hiburan. Seringkali tarian ini
menampilkan gerakan yang dianggap kurang pantas jika ditinjau dari sudut
pandang tari istana, akibatnya tari rakyat ini seringkali
disalahartikan terlalu erotis atau terlalu kasar dalam standar istana.
Meskipun demikian tarian ini tetap berkembang subur dalam tradisi rakyat
Indonesia karena didukung oleh masyarakatnya. Beberapa tari rakyat
tradisional telah dikembangkan menjadi tarian massal dengan gerakan
sederhana yang tersusun rapi, seperti tari Poco-poco dari Minahasa Sulawesi Utara, dan tari Sajojo dari Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar